Eksplanasi Teoritik untuk Kebijakan Pro-Kesejahteraan di Indonesia
Abstract
Artikel ini berangkat dari fenomena baru  yang  ditandai  dengan munculnya kebijakan pemerintah yang fokus pada peningkatan kesejahteraan warga miskin (welfare policy). Kelompok warga miskin yang selama ini mengalami  eksklusi, baik secara ekonomi, sosial maupun politik, telah menjadi subjek penting dalam kebijakan  sosial di Indonesia.  Pemerintah pusat  diikuti beberapa pemerintah daerah di Indonesia membangun kebijakan-kebijakan sosial yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan warga miskin. Namun demikian, hingga kini belum ada eksplanasi teoritik yang dapat menjelaskan secara memadai fenomena tersebut. Oleh karena itu, artikel ini bertendensi untuk menemukan kerangka teoritik yang mampu memberi eksplanasi yang memuaskan atas fenomena tersebut.
Artikel  ini  menggambarkan  kerangka   kerja  yang   disusun   oleh  Jayasuriya (2006) untuk menjelaskan fenomena di atas. Menurut Jayasuriya, kebijakan prokesejahteraan di negara berkembang lahir atas kebutuhan rezim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan pro-kesejahteraan difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin agar selaras dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka kebijakan prokesejahteraan di Indonesia menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif (elit populis). Jauh sebelum wacana ini berkembang, muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berdampingan. Kesejahteraan yang pernah  dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Artikel ini diharapkan memberikan  kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rezim developmentalisme.
Artikel  ini  menggambarkan  kerangka   kerja  yang   disusun   oleh  Jayasuriya (2006) untuk menjelaskan fenomena di atas. Menurut Jayasuriya, kebijakan prokesejahteraan di negara berkembang lahir atas kebutuhan rezim neoliberalisme global untuk mengintegrasikan kewargaan (citizenship) ke dalam pasar. Kebijakan pro-kesejahteraan difokuskan untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin agar selaras dengan kebutuhan pasar. Karena dibangun di atas fondasi kewargaan pasar (market citizenship) semacam itu, dan bukan melalui pembentukan pakta sosial yang berlangsung dalam negosiasi yang alot antara negara, warga, dan pasar, maka kebijakan prokesejahteraan di Indonesia menunjukkan watak yang antipolitik dan menonjolkan peran agen yang aktif (elit populis). Jauh sebelum wacana ini berkembang, muncul dilema-dilema di mana demokrasi dan kesejahteraan dinilai tidak selalu berdampingan. Kesejahteraan yang pernah  dicapai oleh rejim-rejim developmentalisme di Asia Timur menunjukkan bahwa kesejahteraan dapat dicapai melalui tangan besi. Artikel ini diharapkan memberikan  kontribusi teoritik baru tentang dilema yang sama pasca-rezim developmentalisme.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.58823/jham.v7i7.64

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Copyright © KOMNAS HAM 2021
Jln. Latuharhary No 4B, Menteng - Jakarta Pusat
Telp.+621 3925230