UU No 1/PNPS/1965 dan Tafsir Pembatasan Kebebasan Beragama/ Berkeyakinan di Indonesia
Abstract
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis beberapa pertanyaan kunci: 1) Apakah pembatasan semacam itu memiliki pendasaran dalam teori-teori HAM dan instrumen internasional? 2) Apa saja persoalan Undang-Undang (UU) No. 1/PNPS/1965 dalam konteks itu? 3) Apakah UU tersebut kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara?
Hasil pembahasan dan analisis menunjukkan beberapa kesimpulan utama: Pertama, UU PNPS bukanlah mekanisme pembatasan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai doktrin dan teori HAM serta ketentuan-ketentuan dasar derogasi dan limitasi sebagaimana diintroduksi dalam instrumen internasional dan nasional hak asasi manusia. Kedua, UU PNPS mengandung berbagai cacat materiil berkaitan dengan materi dan konsep penodaan agama serta tidak  memberikan kepastian hukum dalam konsepsi-konsepsi hukum dan  penegakan  hukumnya. Ketiga, UU PNPS tidak kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara. Sebaliknya UU ini berwatak restriktif dan bahkan stimulatif terhadap pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Keempat, implikasinya, pemerintah dan DPR harus segera menyusun politik  legislasi baru berkaitan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai pengganti UU PNPS.
Hasil pembahasan dan analisis menunjukkan beberapa kesimpulan utama: Pertama, UU PNPS bukanlah mekanisme pembatasan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagaimana dimaksudkan dalam berbagai doktrin dan teori HAM serta ketentuan-ketentuan dasar derogasi dan limitasi sebagaimana diintroduksi dalam instrumen internasional dan nasional hak asasi manusia. Kedua, UU PNPS mengandung berbagai cacat materiil berkaitan dengan materi dan konsep penodaan agama serta tidak  memberikan kepastian hukum dalam konsepsi-konsepsi hukum dan  penegakan  hukumnya. Ketiga, UU PNPS tidak kompatibel dengan upaya perlindungan dan jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan oleh negara. Sebaliknya UU ini berwatak restriktif dan bahkan stimulatif terhadap pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan. Keempat, implikasinya, pemerintah dan DPR harus segera menyusun politik  legislasi baru berkaitan dengan kebebasan beragama/ berkeyakinan sebagai pengganti UU PNPS.
Full Text:
PDFDOI: https://doi.org/10.58823/jham.v11i11.89

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
Copyright © KOMNAS HAM 2021
Jln. Latuharhary No 4B, Menteng - Jakarta Pusat
Telp.+621 3925230